topbella

Sunday, March 25, 2012

Berganti Nama

Ya, aku baru saja mengganti nama blog ini dari "Little Cheesy Girl" menjadi "Ruang Kata".

Sudah lama sebenarnya aku merasa "Little Cheesy Girl" sudah tak sesuai lagi untuk blogku ini, dengan beberapa alasan:

1. Aku sudah berumur 22 tahun. Aku sudah menamatkan pendidikan sarjanaku. Aku bukan lagi seorang "girl". Aku sekarang (seharusnya) adalah wanita. Perempuan dengan tingkah dan pola pikir yang dewasa, walaupun sepertinya aku belum mampu. Well, I'm not a girl, not yet a woman.

2. Cheesy. Setelah aku cek di dalam kamus Bahasa Inggris, cheesy itu hampir bersinonim dengan silly. Ya, bodoh. Sebenarnya ini pelesetan dari nama email pertamaku; cheezy. Dulu aku memilih nama ini karena kebetulan aku sedang menikmati kue keju saat proses pembuatan email,hahaha. Nama ini kuplesetkan karena waktu itu (waktu aku pertama kali ngeblog), aku sedang dalam masa-masa bodoh. Aku masih seperti seorang anak manusia yang berjalan dalam gelap. Tanpa cahaya. Coba cek tulisan-tulisanku dalam label Labil time, kamu akan mengerti. Yeah, I was so labil. I was so silly as I dont understand my own feeling. But now, please just forget it. Read and take a lesson from it (if any).


3. Aku mulai sadar bahwa blog ini adalah ruang bagiku untuk menuangkan ribuan kata yang tiap harinya (mungkin) hanya bisa kupendam. Terkadang aku tak bisa menemukan objek hidup untuk membaginya. Ya, inilah ruang kata-kataku. Tempat aku berpulang untuk berbagi. Tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri.
Bagian dari unsur yang berproses di dalam hati dan pikiranku. Tanpa makna, tapi penuh rasa.




Dan aku juga baru mengganti alamat blogspotnya, I think this is the time to be the real me :)

Tidak bermaksud narsis :D

Absurd

Lelah . . .
Seakan terpasung dalam indahnya rhytma kehidupan . . .
Terbelenggu ikatan bernama rutinitas . . .

Siapa yang bisa jamin akhirnya bisa seperti harapan sang rumput ?
Mungkin ia layu, karena hujan berganti kemarau sepanjang tahun . . .
atau angin kehilangan arah saat menerbangkan benih-benih asa . . .

Ingin meraung,
merintih,
tapi apa gunanya ?
suara hanya akan membuat lubang itu makin menganga . . .

Hingga hanya terpaku,
diam,
dan menatap kosong tanpa kekuatan untuk sekedar meneteskan air keperihan .

Untuk Papa Mama

Untuk sekelumit asa yang pernah ditipkan
Sejuta tetes keringat yang tertumpahkan
Aku menapakkan kakiku hanya untuk sepasang senyuman

Tunggulah waktunya tiba
Saat aku membuktikan pada dunia
Akan kubuat kalian bangga
Kalian, yang aku sebut orangtua

Saat ini aku masih ringkih
Langkahku mungkin tertatih – tatih
Tapi bukan berarti aku tak gigih

Seret tapakku sepertinya terlihat gontai dan lemah
Tapi aku tetap mendaki walaupun terkadang goyah

Tunggulah kesuksesan anakmu dengan senyum bahagia
Jangan lupa untuk tetap mengaliriku doa
Karena seperti kata mereka, semua ‘kan indah pada masanya

Saturday, March 24, 2012

Potret Alamku (2)

Banda Aceh dan Aceh Besar bukan hanya cocok menjadi tempat wisata karena pantainya, kedua kabupaten/kota ini juga punya wisata gunung dan razia wisata gabungan (pantai plus gunung). Berkali-kalipun kita menghabiskan waktu untuk menikmatinya, tak ada sedikitpun rasa bosan yang bisa hinggap. Allah telah membagikan sedikit nikmat lebih untuk tempat-tempat indah di dunia ini. Maka nikmat-Nya yang manakah yang kau dustakan?.

Pantai Ujung Pancu yang Dijaga oleh Barisan Gunung ( Once upon a time, I was a hiker ^o^)I

(Masih) Ujung Pancu

Ujung Pancu (again)

Wajar jika aku sangat mengagumi keindahan ujung pancu, perjuangan untuk melihat keindahan ini termasuk luar biasa. Untuk sampai disana kita harus mendaki selama 1.5 jam (kami datang ketika baru turun hujan, tanahnya masih licin) dan melewati semak belukar yang bisa membuatmu tak hanya meneteskan keringat namun juga darah (ini serius, kalau ketusuk-tusuk gitu). Selama perjalanan itu, kalian akan menemui (kayaknya) tiga padang rumput tinggi nan luas. Tempat yang bagus untuk foto prawedding istirahat ^O^. Well, aku malas tidak sempat bercerita banyak, just come and prove my words. It is worth trying :)

Potret Alamku (1)

Ananda Sasnita (baca:aku) memang bukan seorang traveler sejati. Aku hanyalah seorang penganut setia aliran NEBENG yang hanya akan "bertamasya" pada momen-momen tertentu dan tentunya dengan orang-orang tertentu (bersykurlah yang pernah melakukannya :p). Terlepas dari hal itu, sama dengan milyaran manusia lainnya, aku suka mengabadikan gambar tempat beserta panorama alam yang pernah kukunjungi. Dan inilah beberapa diantaranya:

Waduk Keuliling Indrapuri

Pantai Syiah Kuala, Lamdingin

Pantai Ujong Batee

Agak lupa ini dimana, tapi kayaknya sekitaran tanoh Unsyiah :D

Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya

Pantai Indrapatra


-Edisi Wisata Air-

Coklat

Siapa yang tidak suka coklat? Saya rasa hampir semua orang tertarik dengan si lezat yang (ternyata) adiktif dan katanya bikin gendut ini.


Coklat menawarkan sensasi nikmat yang istimewa di mulut pencintanya, tak jarang membuat perasaan pun ikut terbuai. Tak salah jika ada yang mengatakan bahwa coklat adalah mood buster.

Sepengetahuan saya, coklat itu dibagi menjadi tiga macam; dark chocolate, white chocolate dan milk chocolate. Ketiganya saya sukai karena saya memang penggila coklat, hanya saja milk coklatlah yang paling sering saya konsumsi. Alasannya sederhana, milk coklat lebih familiar dan lebih gampang ditemukan.

Perbedaan dari ketiga jenis coklat diatas adalah pada rasa dan kandungannya. Dark chocolate diyakini sebagai jenis coklat yang paling sehat untuk dikonsumsi namun rasanya sedikit pahit. Milk chocolate sudahlah pasti familiar bagi para chocolate lovers. Dan terakhir, white chocolate, si putih yang terkesan ekslusif. Secara keseluruhan, coklat itu sangatlah nikmat. Bayangkan ketika ia lumer di mulut anda; YUMMY.

Inikah Indonesia?

Aku dengan bangga melafadkannya
Tanpa ragu aku memproklamirkannya
Sedari dulu banyak yang berjuang tuk memajukannya
Negeriku… Indonesia

67 tahun telah nama Indonesia disandangnya
Bukan mudah dan terlilit lelah pahlawan menggapainya
Tapi apa?
Sudahkah kita menghargainya?


Ketika para pemimpin terlau sibuk menumpuk pundi harta. Ketika kedamaian itu harus dibayar harta. Ia bukan lagi hak asasi.


Dan si rakyat miskin sedang tersedu menahan lapar dan air mata


Ibu pertiwi hanya bisa tergugu, mungkin menahan murka

Tuhanku…
Beginikah negeri yang ku sebut Indonesia?
Benarkah tanahnya dari surga?
Karena yang kurasa, perlahan semakin bergejolak bak neraka.

Friday, March 23, 2012

Yudisium dan Wisuda

Sudah sepantasnya dua kata itu terdengar familiar bagi para mahasiswa karena pada hari inilah mereka diresmikan. Diresmikan untuk terjun ke dunia nyata.

Ada semacam “adat” tidak tertulis tentang bagaimana tampil di hari istimewa ini. Bagi wanita, tampil secantik mungkin. Dan pria, selamat berganteng ria!

Berbalut kebaya dan (rok) songket, para wanita tampil bak model tersohor. Tak ketinggalan sepatu atau sandal dengan hak mencuat yang menambah cita rasa “anggun”. Semua ingin tampil cantik. Tampil istimewa di hari istimewa.

Yang pria pun seakan tak ingin kalah. Memakai jas dan sepatu pantofel, sudah cukup menggambarkan wibawa seorang intelektual muda. Benar-benar hari bahagia tampaknya.

Khusus untuk wisuda, ada satu tambahan pakaian lagi yang menjadi symbol kekeramatan. Toga. Baju “kebesaran” yang memang kebesaran. Walaupun tak nyaman, semua tampak dengan senang hati memakainya. Mengingat berapa besar pengorbanan mereka dan orangtuanya demi menggapai baju tersebut, jadi wajarlah jika mereka tampak berbunga-bunga memakainya.

Oke,fotonya agak melenceng dari deskripsi intelek :D


Ah, benar-benar hari yang indah. Keluar ruangan disambut ucapan selamat, jabat tangan dan senyum orang-orang terkasih dan teman. Benar-benar hari yang special bagi seorang mahasiswa hingga mereka merasa harus membuat semacam syukuran setelahnya.

Seandainya mereka tahu apa yang sedang menanti mereka dikemudian hari.

Indahnya Bumiku

Beberapa minggu yang lalu, saya diajak oleh seorang teman untuk menikmati pemandangan alam yang “WOW”. Memandangi kota Banda Aceh dari ketinggian sekitar 15 meter.

Escape building nama tempat itu. Bangunan yang dibangun dengan tujuan untuk menyelamatkan diri apabila (mudah-mudahan jangan lagi) tsunami melanda. Bangunan sebagai symbol bahwa Aceh “belajar” dari musibah 2004 silam. Belajar untuk siaga.

Apabila anda menaiki gedung tersebut hingga ke atapnya, anda akan kembali diingatkan bagaimana beruntungnya kita sebagai manusia dititipi bumi yang begitu indah oleh Allah. Dengan letak yang cukup strategis, mata kita dimanjakan oleh beberapa keindahan dalam sekali pandang.

Kita mulai dari sebelah barat. Cobalah datang kemari menjelang maghrib maka anda akan menyaksikan pemandangan romantis dari matahari tenggelam ditemani dengan belaian lembut dari angin sore. Jika anda menolehkan wajah ke Utara, hamparan lautan membiru siap meggelitik anda untuk berdecak kagum. Palingkan wajah anda ke Selatan, gugusan hijau nan perkasa sudah menunggu dengan pesonanya, menanti anda menggumamkan “Masya Allah, indahnyaa.” Dan terakhir, putarlah badan anda dan lihat kota Banda Aceh terhampar dengan susunan yang tak kalah indah. Sungguh luar biasa. Sebut saja Museum Tsunami, Stadion Harapan Bangsa dan menara dari Mesjid Raya Baiturrahman tengah “melambai” dari kejauhan. Indahnya bumiku.

Menakjubkan, bangunan sesimpel itu bisa menawarkan banyak pesona. Bukan dari dirinya, tapi dari alam di sekelilingnya. Allah memang Maha Memberi Nikmat. Maka nikmat-Nya yang mana yang kamu dustakan?

Kehilangan (yang tersayang)

Semua orang pernah merasa kehilangan.

Kehilangan itu sendiri berarti perubahan kondisi. Dari ada menjadi tiada.
Kehilangan ini disebabkan oleh banyak hal; disengaja atau tidak, diinginkan atau tidak, diduga dan tak terduga. Kehilangan dalam kategori tidak disengaja, tidak diinginkan atau tidak terduga biasanya terjadi begitu cepat. Tanpa proses. Serta-merta. Ambil saja contoh kehilangan akibat bencana alam, kecelakaan, perampokan dan yang paling pasti KEMATIAN. Semuanya tidak terjadwal sebelumnya, tanpa persiapan. Dan biasanya kehilangan dalam kategori ini yang paling meremukkan hati mereka yang mengalaminya. Setiap yang bernyawa pasti mati, maka setiap yang bernyawa lainnya pasti merasa kehilangan.

Kehilangan dalam kategori kedua adalah kehilangan yang “terencana”. Berproses. Biasanya disebut perpisahan (sementara). Masih memungkinkan adanya pertemuan kembali. Walaupun dalam kondisi yang berbeda. Pada umumnya perpisahan ini terjadi karena dua orang (atau lebih) sudah tidak bisa memaksakan diri berada dalam track yang sama. Dan lebih seringnya lagi, waktulah yang menjadi pemicu proses kehilangan ini.

Waktu mengubah segalanya. Itu bukanlah ungkapan non-sense pemanis belaka. Itu nyata. Waktu mengubah usia, pola pikir, tingkah laku dan perasaan manusia. Disadari atau tidak, waktu yang memprosesnya. Semua yang kita lakukan punya batas waktu. Masa kadaluarsa.

Bahkan manusia ini tidak mempunyai kekuatan apapun terhadap waktu. Semua harus tetap berjalan. Siap atau tidak. Hingga nanti di tengah jalan, ada saja alasan untuk berpisah.

Sewaktu sekolah, kita biasa merayakan hari perpisahan. Hari berakhirnya kebersamaan kita dengan teman-teman seperjuangan kala itu, untuk kemudian tetap melanjutkan hidup kita dengan mitra yang lain. Perpisahan (sementara) adalah pertemuan dengan hal baru.

Yang menjadi permasalahannya, begitu banyak manusia yang tidak menghargai apa yang dimilikinya sekarang. Seolah-olah merasa yakin bahwa apa yang dimilikinya akan selalu bersamanya. Mereka tidak menghargai waktu kepemilikan tersebut. Mereka menyia-nyiakannya.

Sangat disayangkan bagaimana seorang manusia tidak menghargai keluarga, sahabat dan pasangan yang dimilikinya sekarang hanya karena merasa mereka sudah ada di sana. Tanpa dia sadari bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya.

Jadi, jangan menunggu kehilangan untuk belajar menghargai. Jangan mau menjadi orang yang nantinya menyesal. Belum tentu anda akan melihat mereka beberapa menit lagi, kan?

Komitmen

Seberapa banyak orang di dunia ini yang berani berkomitmen? Komitmen yang tulus dari hati atas kesadaran diri?

Mungkin banyak, tapi sepertinya tidak.

Bagi saya pribadi, komitmen merupakan suatu bentuk keberanian untuk mengikat diri pada sesuatu/seseorang yang biasanya melibatkan perasaan tetapi masih berlandaskan logika. Simpelnya, komitmen berarti mau berjanji walau susah menepati. Janji yang suatu hari nanti harus ditepati, walaupun tak banyak yang memngingkarinya di tengah perjalanan.

Manusia diciptakan bersuku-suku dan berpasang-pasangan. Nah, dalam hal berpasangan inilah biasanya komitmen ikut disandingkan. Komitmen untuk sehidup semati adalah hal yang klasik yang biasa disyairkkan. Tapi apakah benar ada komitmen yang demikian?

Menilik dari berbagai kemungkinan, komitmen bisa dikategorikan dalam dua bagian; komitmen ikhlas dan komitmen culas.

Pertama, komitmen ikhlas. Disini maksudnya kedua insan yang memutuskan untuk berkomitmen memang digerakkan oleh “sesuatu” di dalam tubuhnya. Hati. Jika hati sudah memilih, biasanya organ lain akan mendadak tumpul. Proses pemilihan yang dilakukan oleh hati pun sangat random, tidak terdeteksi. Tiba-tiba saja hati menunjukkan bahwa “kamu yang akan menemaniku”. Sesimpel itu. Sesimpel rasa yang tiba-tiba menelusup, dititipkan oleh Yang Maha Mencintai.

Biasanya dalam kasus ini, perjalanan berkomitmen itu tidak mulus. Ada saja rintangan, abstrak maupun nyata. Dan disinilah hati dan isinya diuji. Sanggupkah? Seharusnya sanggup. Bukankah setiap usaha akan berbuah manis nantinya? Anggap saja rintangan itu sebagai simpul penguat komitmen yang sudah dijalani, mudah-mudahan tujuan akhir itu bisa dicapai dengan senyuman.

Dilain pihak, ada segelintir orang yang menerjunkan dirinya dalam komitmen culas. Dan yang berperan disini adalah otak. Otak mengirimkan sinyal-sinyal pertimbangan yang menggiurkan untuk membuat si empunya mau untuk berkomitmen. Komitmen karena harta, karena tahta, dan karena rupa. Tak ada satupun dari hal tersebut yang abadi.

Manusia ini hanya makhluk yang dititipi Allah dengan berbagai nikmat. Jadi ketika nikmat itu yang menjadi acuan, biasanya sifat buruk akan terpancing ke permukaan. Memilih sesuatu berdasarkan nilai dan keuntungan yang sebenarnya sangat jelas bersifat dinamis. Apa yang terjadi kita nilai itu anjlok? Komitmen pun ikut terperosok.

Komitmen. Tidak sesimpel teorinya. Hanya yang masih mempunyai perasaan yang mampu bertahan.

Menulis

Semua orang yang pernah belajar pasti bisa menulis. Siapa pun. Menulis biasanya dilakukan untuk “merekam” suatu hal dalam bentuk goresan tangan agar kemudian dapat dibaca kembali bila diperlukan.

Permasalahan sekarang adalah, bagaimana menulis menjadi tidak sesimpel kedengarannya ketika ide tidak dapat diturkan dengan baik. Tidak semua orang bisa memvisualisasikan idenya melalui tulisan. Dan kalaupun bisa, tidak semua penulis itu mempunyai cerita yang bisa menjual menghipnotis pembaca untuk larut dalam tulisannya.

Pada dasarnya, setiap cerita mempunyai “nafas” tersendiri. Dan hal ini sangat berkaitan erat dengan kepribadian dan keahlian para penulisnya. Sebut saja cerita bergenre komedi, percintaan, thriller dan lainnya yang masing-masing punya pembaca tersendiri.

Saya pribadi, sebagai seorang yang menproklamirkan diri sebagai book-eater, sanggup membaca belasan buku dalam seminggu dengan genre yang berbeda tanpa pernah merasa “tersesat”. Saat membaca buku komedi, saya bisa tertawa lepas yang langsung berubah menjadi kegalauan (ehm!) ketika saya membaca buku bernafaskan cinta.

Yang membuat saya takjub, bagaimana para penulis ini terlihat bergitu cerdas. Terlihat begitu persuasif. Bagaimana mereka bisa mempermainkan perasaan pembaca untuk tetap membenamkan diri dalam cerita mereka seolah-olah hal itu begitu nyata. Bagaimana uantaian kata-kata tersebut menggoda imajinasi untuk memberi gambaran nyata yang terkadang luar biasa.

Sebut saja J.K Rowling, penulis buku fenomenal Harry Potter, bertengger dengan manisnya dalam daftar orang terkaya di dunia dari hasil tulisannya. Saya masih takjub dengan caranya membuai pembaca untuk ikut dalam dunia “lain” yang bahkan kita tidak pernah membayangkannya ada. Bagaimana sihir terlihat nyata dan penyihir terlihat “keren”. Sungguh luar biasa.



Di lain pihak, sebut saja Raditya Dika, salah satu penulis buku bergenre komedi terkenal di Indonesia, mampu menggetarkan perut pembaca lewat kekonyolan sederhananya. Bukan urusan gampang untuk memastikan semua pembaca ikut terpingkal dengan permainan katanya, namun menurut saya dia berhasil. Berhasil menjadi penulis yang menghidangkan tulisan segar. Tulisan yang diperlukan saat orang sudah lupa cara tertawa di tengah hiruk pikuk dunia.



Well…mereka orang-orang luar biasa. I envy them for that. Ternyata jenius itu bisa dinilai dari rangkaian kata. Mari taklukan dunia lewat tulisan. Penulis itu jenius, kawan!

Resolution

Sebuah postingan yang terlambat ^o^


Well, for this first writing of my resolution I want to talk about resolution itself.
Resolusi. Satu kata yang biasa digaung-gaungkan saat menjelang tahun baru. “Apa resolusimu untuk tahun yang akan datang?” sounds familiar di tiap akhir tahun.


Menurut saya pribadi, resolusi adalah suatu bentuk keinginan untuk dapat menjadi lebih baik di tahun yang akan datang. 365 hari yang sudah dijalani bukanlah waktu yang singkat untuk belajar banyak hal. Dan pasti beberapa bagian dari pengalaman yang telah kita alami mengajarkan kita untuk tidak menulang kebodohan yang sama.

Bodoh. Manusia berakal sehat mana yang ingin dibilang bodoh?. Untuk menghindari kebodohan itulah kita dituntut untuk menata hidup kita menjadi lebih baik. Keledai pun tak mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Banyak hal yang bisa kita cantumkan dalam daftar resolusi kita. Dan biasanya hal tersebut adalah sesuatu yang tidak maupun belum kita lakukan di masa lalu. Tapi bagi saya pribadi, resolusi bukanlah mengerjakan hal yang baru, tetapi membiasakan hal positif yang dulunya sering terlupakan. Untuk orang-orang penganut paham “simplicity” seperti saya, saya tidak ingin membuat resolusi yang malah membuat hidup saya kerepotan. Usahakan sesimpel mungkin, dengan hasil semaksimal mungkin, dan kebaikan sebanyak mungkin. :)

Keinginan saya itu bukan sesuatu hal yang tidak mungkin. Kedamaian dalam hidup kita ini toh harus diciptakan dari sesuatu yang lebih kecil dulu. Sebagai contoh; sebagai seorang Muslim, saya terbiasa dididik oleh orangtua saya untuk membaca Al-Quran. Masalahnya, seiring bertambahnya usia, saya semakin jarang melakukannya. Sampai kemarin saya tersadar, betapa jauhnya saya dari pedoman hidup tersebut. Saya pun mulai memasukkan membaca Al-Quran sebagai agenda harian di dalam daftar resolusi saya.

Contoh yang lain, saya sebagai seorang manusia biasa pasti wajar mempunyai banyak keinginan. Dan semua keinginan saya itu menuntut untuk dipenuhi. Yang memberatkan saya sekarang, saya tidak punya cukup uang untuk memenuhi semua hal itu. Mengingat saya sudah cukup “dewasa” untuk merengek pada orangtua tentang masalah finansial tersebut, saya pun memutuskan untuk menabung.

Sebenarnya menabung bukan hal yang baru juga bagi saya. Saya bersyukur dibesarkan di keluarga saya, karena orangtua saya jugalah yang mengajarkan untuk menabung. Semenjak SMP, saya sudah mempunyai buku tabungan pribadi. Atas nama saya sendiri. Saya merasa sangat keren waktu itu. Tapi semenjak kuliah, saya bukannya menabung tetapi malah menguras tabungan. Dan sekarang saya merasa harus menabung lagi, harus menyisihkan sedikit hasil keringat saya untuk kepuasan batin yang menunggu untuk dituruti. Yah, setidaknya saya juga belajar arti ikhtiar dan bersabar.

Selanjutnya, bagian lain dari resolusi saya yang berhubungan dengan uang adalah sedekah. Ya, saya merasa saya sangat jarang bersedekah. Dan itu karena dulunya saya tidak terlalu memikirkan tentang hal tersebut. Sampai kemarin saya tersadar, apa gunanya uang yang saya dapatkan kalau hanya saya gunakan untuk diri sendiri. Egois sekali saya. Bukankah ada hak orang lain yang dititipkan melalui rezeki kita?

Nah, simple kan? Tapi saya merasa puas. Saya merasa sedikit lebih baik dari tahun kemarin. Bukankah perubahan itu butuh waktu? And it is my time.

About Me

My Photo
Miyoko Hirohata
Banda Aceh, NAD, Indonesia
Imperfection
View my complete profile
 
Ruang Kata© Designed by: Compartidisimo